Saturday, November 14, 2020

PROSPEK POHON UNGGULAN SULAWESI YANG BERNILAI JUAL TINGGI


Wikipedia menyebutnya sejenis pohon penghasil kayu mahal dari suku eboni-ebonian (Ebenaceae). Nama ilmiahnya Diospyros celebica, yakni diturunkan dari kata “Celebes (Sulawesi)”, dan merupakan tumbuhan endemik daerah itu. Kayu hitam atau kayu eboni ini juga merupakan flora identitas Provinsi Sulawesi Tengah.

Mengutip dari uajy.ac.id, kayu eboni berwarna cokelat gelap, agak kehitaman, atau hitam berbelang-belang kemerahan. Memiliki tekstur halus dan arah serat kayunya lurus atau sedikit berpadu. Permukaan kayu eboni tergolong licin.

Kayu eboni biasanya digunakan sebagai bahan mebel, patung, ukiran, hiasan dinding, alat musik, kipas, dan kayu lapis mewah. Produk khas yang dihasilkan dan yang menjadi incaran pembeli adalah model perahu phinisi sulawesi berbagai ukuran. Sementara itu, Jepang sebagai negara utama tujuan ekspor kayu eboni, beranggapan perabotan rumah tangga yang berasal dari kayu eboni dapat meningkatkan status sosial.

Ady Suryawan dan kawan-kawan dari Balai Penelitian Kehutanan Manado, dalam penelitian berjudul “Potensi Permudaan Alami Jenis-jenis Eboni di Cagar Alam Bitung Sulawesi Utara”, mengatakan kayu eboni termasuk salah satu jenis kayu yang sangat mahal harganya dan tergolong salah satu jenis kayu kuat, mewah, indah, dan bernilai ekonomi tinggi yang kini semakin langka.

Kayu eboni, mengutip dari ipb.ac.id, termasuk kayu yang awet karena mengandung ekstraktif yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu. Jenis kayu ini banyak digunakan sebagai bahan bangunan, kerajinan, dan furnitur.

Penelitian yang dilakukan Yuli Catur Rahayu dari Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, “Variasi Radial Keawetan Kayu Eboni terhadap Rayap Kayu Kering dan Jamur Schizophyllum commune”, menunjukkan zat ekstraktif kayu eboni dapat menyebabkan kematian pada rayap, dan menghambat serangan jamur.

Oleh sebab itu, eboni merupakan kayu yang memiliki kekuatan dan kualitas yang baik dan mahal harganya. Bahkan banyak dieksploitasi secara berlebihan, sementara pohon eboni termasuk jenis yang memiliki sifat pertumbuhan lambat (slow growing species). Maka untuk melindunginya, kini IUCN menetapkan statusnya sebagai rentan (vulnerable) dan CITES memasukkannya ke dalam Apendiks 2.

Pemerian Botani Kayu Eboni

Pohon eboni, menurut Wikipedia, memiliki batang lurus dan tegak, dengan tinggi sampai dengan 40 m. Diameter batang bagian bawah dapat mencapai 1 m, sering dengan banir (akar papan) besar.

Kulit batangnya beralur, mengelupas kecil-kecil dan berwarna cokelat hitam. Pepagannya berwarna cokelat muda dan di bagian dalamnya berwarna putih kekuning-kuningan.

Daun tunggal, tersusun berseling, berbentuk jorong memanjang, dengan ujung meruncing, permukaan atasnya mengkilap, seperti kulit dan berwarna hijau tua, permukaan bawahnya berbulu dan berwarna hijau abu-abu.

Bunganya mengelompok pada ketiak daun, berwarna putih. Buahnya bulat telur, berbulu, dan berwarna merah kuning sampai cokelat bila tua. Daging buahnya yang berwarna keputihan kerap dimakan monyet, bajing, atau kelelawar, dengan demikian bertindak sebagai agen pemencar biji. Bijinya berbentuk seperti baji yang memanjang, cokelat kehitaman.

RC Bakhuizen van den Brink (1936), dalam studinya berjudul Revisio Ebenacearum Malayensium. Bulletin du Jardin Botanique deBuitenzorg Serie III, 15(1-5), 1-515, menyebutkan beberapa nama daerah Diospyros celebica di Sulawesi, yaitu seperti “toe”, nama yang dipakai di perbukitan Tambora-Kagila, daerah hulu Sungai Poso dan juga di daerah Donggala dan Menado.

Nama-nama lain di Menado adalah maito, ayoe maito, dan togas. Nama-nama daerah yang lain seperti limara (Luwu), sora (Malili dan Cerekang), ayu moitong (Parigi).

A Martawijaya dan I Kartasujana (1977) dalam bukunya, Ciri Umum, Sifat dan Kegunaan Jenis-Jenis Kayu Indonesia, Penerbit Publikasi Khusus Lembaga Penelitian Hasil Hutan No 41, 22-23; 89, menyebutkan beberapa nama seperti toetandu, maeta, amara, kayu itam, dan maetang, dan nama yang cukup populer adalah kayu makasar atau kayu hitam makasar.

Dalam perdagangan internasional kayu hitam sulawesi ini dikenal sebagai Macassar ebony, Coromandel ebony, streaked ebony, atau juga black ebony. Nama-nama lain di Indonesia di antaranya kayu itam, toetandu, sora, kayu lotong, dan kayu maitong.

Kayu eboni mengutip dari lipi.go.id, diklasiflkasi dalam tiga kelompok nama, yaitu eboni hitam (black ebony), eboni hitam bergaris (streaked ebony), dan eboni putih (white diospyros wood). Eboni dari Diospyros celebica sendiri, dalam perdagangan termasuk dalam kelompok eboni hitam bergaris.

Hasil dan Kegunaan

Kayu eboni, mengutip dari uajy.ac.id, secara alami dijumpai di Sulawesi Tengah terutama di Parigi, Poso, Donggala, Sulawesi Selatan (Maros), Sulawesi Barat (Mamuju), dan Maluku. Jenis ini dapat dijumpai di hutan primer pada tanah liat, pasir, atau tanah berbatu-batu, yang mempunyai drainase baik, pada ketinggian kurang dari 400 m dpl. Kayu hitam juga menyukai daerah perbukitan dengan topografi lereng yang curam.

Kayu hitam sangat berat. Kelas keawetan dan kekuatannya digolongkan dalam kelas satu. Kayu hitam termasuk kayu berat dengan berat jenis melebihi air, sehingga tidak dapat mengapung.

Eboni dikenal memiliki pertumbuhan yang sangat lambat. Di habitat aslinya, tekstur kayu yang berwarna belang cokelat dan kuning dengan motif yang terkenal sangat indah itu, baru akan terbentuk sempurna setelah pohon mencapai umur sekitar 60-80 tahun.

Karena kualitasnya yang sangat baik, kayu ini termasuk kayu ekspor yang sangat mahal dan mempunyai banyak kegunaan, termasuk di antaranya untuk tiang jembatan, vinir mewah, mebel, patung, ukiran, hiasan rumah, alat musik (misalnya gitar dan piano), tongkat, dan kotak perhiasan.

Penyebaran dan Konservasi

Menurut Wikipedia, kayu eboni telah diekspor ke luar negeri sejak abad ke-18. Pasar utamanya adalah Jepang. Pasar sekunder adalah Eropa dan Amerika Serikat.

Karena perkembangan populasi yang lambat dan karena tingginya tingkat eksploitasi di alam, kini kayu hitam sulawesi terancam kepunahan.

Menurut Sunaryo, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam LIPI, dikutip dari e-journal.biologi.lipi.go.id, kelimpahan jenis pohon eboni di kawasan hutan alam menurun sebagai akibat eksploitasi dan pemanfaatan secara komersial. Kayu eboni dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan baku kerajinan tangan, mebel, dan bahan bangunan, sebagai mata pencaharian tambahan.

Untuk mencegah penurunan kelimpahan yang dapat mengarah pada kepunahan jenis tanpa menghilangkan mata pencaharian masyarakat, perlu dilakukan suatu cara pemanfaatan yang berkelanjutan dari jenis-jenis eboni tersebut, seperti pembangunan hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan.

Diusulkan suatu cara pengelolaan yang berkelanjutan baik dengan cara pelestarian in-situ, ex-situ, dan dengan teknik budidayanya. Diharapkan melalui pengembangan hutan tanaman, eboni dapat terus dipanen tanpa penurunan populasi di hutan alam.

Related Posts

PROSPEK POHON UNGGULAN SULAWESI YANG BERNILAI JUAL TINGGI
4/ 5
Oleh